Hai bu, salam hormat ku akan selalu aku tujukan kepadamu.
Semoga kedamaian dan keselamatan akan senantiasa menyelimutimu dimanapun.
Bagaimana kabarmu pagi ini, Bu? Ibu yang kelak akan jadi Ibu
ku juga nanti. Terlintas dipikiranku pagi ini untuk menulis sepucuk surat
untukmu. Cahaya cinta putri kebanggaanmu telah menyinari ku dalam setiap ruas
mimpiku semalam.
Entah keabstrakan apalagi yang ada dipikiranku sehingga bisa
sebegitu terobsesinya dengan putrimu sejak pertama kenal, bertemu dan berteman
dengannya. Jujur saja bu, aku jatuh cinta dengan putrimu sejak pertama bertemu.
Wajahnya yang selalu bersinar dan senyumnya yang selalu mendamaikan akan
menjadi ingatan yang akan selalu melayang empat belas centi diatas kepalaku.
Kelembutan hatinya pun hanya bisa aku kunjungi beberapa kali saja, tanpa bisa
mendiaminya. Atau munkin kesucian hatinya tak mengijinkan kehadiranku yang
masih kotor ini. Dan aku juga sadar butuh kesabaran untuk bisa masuk
perlahan-lahan dihatinya.
Lucu jika aku bercerita kepada ibu, saat kami pertama kenal
dan bertemu. Atau mungkin ibu juga sudah mendengar cerita tentangku dari
putrimu. Sangat manis jika diceritakan, nostalgia bersama dia, tingkah laku
lucunya telah menjadi sihir mematikan. Putrimu menjadi satu-satunya pelita saat
itu dikala aku terpuruk dalam bayangan hitam kota pahlawan. Bahkan doa-doa pun
sudah mulai kuuntai dengan namanya. Indah sekali, semanis madu dalam sekotak
rindu.
Kala itu hari-hariku penuh dengan canda dan tawa putrimu,
bu. Mulai saling memberi semangat dan saling mendoakan. Dan aku kira putrimu
juga sudah mulai ada rasa denganku. Entah atau dugaanku saja. Tapi ya inilah
yang dirasakan oleh kami. Dan kadang bangunan yang coba aku bangun beberapa
kali diguncang gempa dan runtuh. Aku belum tau sebenarnya bagamana karakter
sebenarnya dari putrimu.
Bu, bagaimanapun nanti akhirnya semoga hanya dengan
ridho-Nyalah kita senantiasa dibahagiakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar