Minggu, 19 Agustus 2018

Tentang Jakarta (1)

Jakarta, kota perantauan kedua setelah Surabaya. Tak disangka tak dinyana, aku bisa bertahan di kota ini kurang lebih selama dua bulan. Ya, selama dua bulan. Aku pikir dahulunya ketika masih di Surabaya, Jakarta merupakan kota yang lebih menantang untuk ditakhlukan. Aku merasa sudah menakhlukan Surabaya setelah aku menyelesaikan pendidikan S1. Ternyata, Jakarta tidak mudah untuk di takhlukan. Saya butuh strategi dan pesiapan lagi untuk bisa menakhlukan Ibukota ini.


Konsep ‘penakhlukan’ yang saya maksud disini memiliki definisi yang cukup kompleks. Saya sendiri asli kelahiran Nganjuk, tumbuh dan besar di Nganjuk hingga menamatkan SMA. Nganjuk sendiri tidak bisa dikatakan saya takhlukan, oleh karena semenjak lahir memang saya sudah disini. Sementara Surabaya sendiri bisa dikatakan sudah saya takhlukan oleh karena saya sudah benar-benar hidup di Surabaya. Menikmati susah senangnya jadi anak perantauan. Mungkin nanti akan saya tuliskan tersendiri mengenai Surabaya.

Kembali ke Jakarta.
Untuk pertamakali saya menginjakkan kaki kembali di Jakarta pada hari Senin 20 November 2017, setelah kurang lebih belasan tahun yang lalu saya terakhir ke Jakarta. Pada bulan November tersebut, agenda saya ke Jakarta adalah untuk mengumpulkan sumber untuk skripsi saya. Kenapa jauh sekali sampai Jakarta? Hmmm, saya rasa memang di Jakarta lah sumber mengenai sejarah Korps Marinir berada. Setelah beberapa bulan saya menyisir kota Surabaya akhirnya memang di Jakartalah keberadaan sumber yang saya cari-cari.

Singkat cerita, penjajakan kaki saya ke Jakarta untuk kedua kalinya tersebut pada bulan November 2017 membuahkan hasil. Saya mendapatkan sumber yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan tulisan Skripsi saya. Cukup banyak yang bisa diceritakan, 7 hari berada di Jakarta, merasakan macet dan mahalnya biaya hidup. Sebuah habitat baru bagi saya untuk bisa dijelajahi dan ditakhlukan.

Pada bulan Mei 2018, tepatnya hari Jumat tangal 11 saya kembali ke Jakarta. kali ini agendanya adalah laporan kepada staf Dispen Kormar mengenai skripsi saya yang membahas tentang sejarah KKO AL. Dua hari kemudian saya kembali ke Nganjuk. Sungguh saya belum merasakan benar-benar sebagaianak rantau. Mungkin karena selama di Jakarta pada November 2017 dan Mei 2018 saya masih tinggal bersama saudara. Untuk urusan makan pun juga masih belum terasa pengeluarannya. Mungkin kalau dilihat besar pengeluaran terletak pada transportasi. Selama di Jakarta tersebut saya selalu menggunakan jasa ojek online yang notabenenya lebih cepat tetapi juga mahal pula.

Pengalaman di Jakarta pada tahun 2017 dan awal tahun 2018 tersebutlah yang saya jadikan sebagai modal awal untuk mempersiapkan perantauan ke Jakarta kemudian. Cerita bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar