Jakarta,
kota perantauan kedua setelah Surabaya. Tak disangka tak dinyana, aku bisa
bertahan di kota ini kurang lebih selama dua bulan. Ya, selama dua bulan. Aku
pikir dahulunya ketika masih di Surabaya, Jakarta merupakan kota yang lebih
menantang untuk ditakhlukan. Aku merasa sudah menakhlukan Surabaya setelah aku
menyelesaikan pendidikan S1. Ternyata, Jakarta tidak mudah untuk di takhlukan.
Saya butuh strategi dan pesiapan lagi untuk bisa menakhlukan Ibukota ini.
Konsep ‘penakhlukan’
yang saya maksud disini memiliki definisi yang cukup kompleks. Saya sendiri
asli kelahiran Nganjuk, tumbuh dan besar di Nganjuk hingga menamatkan SMA.
Nganjuk sendiri tidak bisa dikatakan saya takhlukan, oleh karena semenjak lahir
memang saya sudah disini. Sementara Surabaya sendiri bisa dikatakan sudah saya
takhlukan oleh karena saya sudah benar-benar hidup di Surabaya. Menikmati susah
senangnya jadi anak perantauan. Mungkin nanti akan saya tuliskan tersendiri
mengenai Surabaya.
Kembali ke
Jakarta.
Untuk
pertamakali saya menginjakkan kaki kembali di Jakarta pada hari Senin 20
November 2017, setelah kurang lebih belasan tahun yang lalu saya terakhir ke
Jakarta. Pada bulan November tersebut, agenda saya ke Jakarta adalah untuk
mengumpulkan sumber untuk skripsi saya. Kenapa jauh sekali sampai Jakarta?
Hmmm, saya rasa memang di Jakarta lah sumber mengenai sejarah Korps Marinir
berada. Setelah beberapa bulan saya menyisir kota Surabaya akhirnya memang di
Jakartalah keberadaan sumber yang saya cari-cari.
Singkat
cerita, penjajakan kaki saya ke Jakarta untuk kedua kalinya tersebut pada bulan
November 2017 membuahkan hasil. Saya mendapatkan sumber yang lebih dari cukup
untuk menyelesaikan tulisan Skripsi saya. Cukup banyak yang bisa diceritakan, 7
hari berada di Jakarta, merasakan macet dan mahalnya biaya hidup. Sebuah habitat
baru bagi saya untuk bisa dijelajahi dan ditakhlukan.
Pada bulan
Mei 2018, tepatnya hari Jumat tangal 11 saya kembali ke Jakarta. kali ini
agendanya adalah laporan kepada staf Dispen Kormar mengenai skripsi saya yang
membahas tentang sejarah KKO AL. Dua hari kemudian saya kembali ke Nganjuk. Sungguh
saya belum merasakan benar-benar sebagaianak rantau. Mungkin karena selama di
Jakarta pada November 2017 dan Mei 2018 saya masih tinggal bersama saudara. Untuk
urusan makan pun juga masih belum terasa pengeluarannya. Mungkin kalau dilihat
besar pengeluaran terletak pada transportasi. Selama di Jakarta tersebut saya
selalu menggunakan jasa ojek online yang notabenenya lebih cepat tetapi juga
mahal pula.
Pengalaman
di Jakarta pada tahun 2017 dan awal tahun 2018 tersebutlah yang saya jadikan
sebagai modal awal untuk mempersiapkan perantauan ke Jakarta kemudian. Cerita
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar